Jumat, 07 September 2012

Timnas Pecah, Menakar Logika, dan Hukuman Untuk Mereka

 Oleh : Hendra Wardhana

Resmi sudah Timnas Sepakbola Indonesia pecah. Setelah sempat diragukan dan hanya dianggap menggertak, La Nyalla di bawah bendera PSSI-KLB yang ia kibarkan akhirnya benar-benar membentuk Tim sendiri.

Sebenarnya menurut saya Timnas tetap dan hanya satu yakni tim yang berada di bawah bendera PSSI yang sah diakui FIFA & AFC. Jika kemudian banyak yang memilih menggunakan istilah “dua Timnas” atau “Timnas pecah” itu karena dampak ambisi kubu yang berseberangan untuk mempertahankan eksistensi (baca : ambisi) dengan membentuk opini serta propaganda. Hal itu kebetulan sejalan dengan anggapan masyarakat yang masih terbiasa melihat para pemain bintang yang dulu membela Garuda kini berada di kubu sempalan. Dan sebagian masyarakat belum bisa lepas dari “kebiasaan” itu. Mereka mungkin lupa kalau banyak fakta di kehidupan yang tidak berarti apa-apa tanpa legalitas.

Meski berisi banyak pemain bintang, secara de jure mereka tidak berada di bawah federasi yang sah. Secara de facto pun mereka bukan Timnas. Sesulit apapun ini harus diakui dan dimengerti seperti halnya kita patuh pada aturan dan norma pergaulan sehari-hari.

Saya tidak berpihak keras kepada PSSI dan Djohar Arifin, bagaimanapun harus diakui semua masalah pelik saat ini tak lepas dari beberapa kesalahan PSSI di awal kepemimpinannya. Namun demikian saya pun tak menaruh respek tinggi pada gerakan KPSI yang dikomandani La Nyalla.

Lalu mengapa sepakbola Indonesia akhirnya bisa menjadi elegi semacam ini ?. Jujur saya tak menyangka akan sepanjang ini drama sepakbola Indonesia. Di saat negara lain memasuki era baru sepakbola dengan segudang mimpi yang sebagian sudah mewujud menjadi prestasi, kita justru masih berkutat pada konflik dan terus membentuk konflik baru hingga akhirnya diam di tempat dan terdorong mundur.

Saya setuju dengan pendapat beberapa pengamat yang menyatakan kesalahan PSSI yang merombak total Liga serta memasukkan tim-tim “gratisan” bukanlah pemicu sesungguhnya. Masalah itu terlalu kecil dan sangat bisa diperbaiki bersama-sama. Namun rupanya dari situlah kelompok lain mendapatkan momentumnya. Momentum yang berhasil mereka kelola dengan baik. Dan sayangnya itu mendapat dukungan dari banyak pemain dan aktor klub di Indonesia.

KPSI dengan gerakannya tidak akan menjadi besar jika sebagian pemain itu dan aktor-aktor klub mereka tidak turut mendukungnya. Tapi mau dikatakan apalagi, klub beserta aktor-aktornya terlanjur menjadi bagian rezim yang tak ingin dibersihkan dan kehilangan zona nyaman. Sementara para pemain yang memilih berdiri di bawah kibaran bendera KPSI membuat saya tak habis fikir untuk menerka apa yang ada di benak mereka. Di mana akal sehat mereka ?. Alur berfikir logis seperti apa yang mengisi kepala mereka.

Jika hanya bermain di Liga Super Indonesia (LSI) menurut saya itu bukan masalah. Sayapun menikmati pertandingan LSI. Harus diakui di sanalah mereka mencari nafkah bersama klub. LSI juga sebelumnya dianggap AFC sebagai salah satu liga teramai di Asia. Oleh karena itu pula AFC tidak gegabah membubarkan LSI atau menghukum para pemain dan klub. AFC melalui Komite Bersama memilih berusaha mendudukkan LSI bersama PSSI untuk merintis liga dengan format baru.

Tapi cerita itu kini sudah berkembang sedemikian besar dan menurut saya berpotensi menjadi hal yang lebih serius dibanding sekedar dualisme liga atau federasi sempalan. Tak mengapa mereka bermain di Liga Super, tapi jika kemudian mereka ikut bergabung ke dalam Timnas tandingan yang berarti juga turut membesarkan ambisi kelompok yang sudah jelas tak membawa kebaikan kepada sepakbola Indonesia, maka mereka sudah selayaknya mendapatkan pelajaran.

Mengapa demikian ?. Apa kita pernah membayangkan sebelumnya jika Timnas tandingan itu bertanding, dengan siapapun itu, apa yang akan mereka kenakan ?. Inilah yang menurut saya akan menjadi kesedihan terdalam dibanding turunnya peringkat FIFA Indonesia yang tidak ada apa-apanya. Saya tak bisa membayangkan jika nantinya Timnas kubu KPSI memakai jersey dengan logo PSSI atau Garuda bersanding dengan logo bendera Merah Putih. Apakah itu salah ?. Bukankah setiap orang Indonesia berhak mengenakan dan menunjukkan simbol kebanggaan negaranya ?. Mungkin tidak salah. Namun dalam konteks Timnas tandingan dan KPSI ini akan menjadi sebuah tragedi.

Mungkin saya berlebihan. Tapi mari kita bayangkan PSSI yang dulu dibentuk sebagai salah satu roda penggerak sekaligus perwujudan persatuan, Merah Putih yang menjadi bingkai dari persatuan serta Burung Garuda sebagai lambangnya, kini dipertaruhkan. Perlawanan KPSI terhadap PSSI serta dua timnas yang saling dibenturkan tanpa mereka sadari telah menjadikan simbol-simbol agung tersebut sebagai alat untuk bertarung.

Kita tentu tak bisa menerima satu bendera Merah Putih yang sama digunakan untuk menghancurkan sesama. Tak bisa dibayangkan Garuda dijadikan tameng untuk sebuah niat yang tak baik. Dan saya rasa KPSI telah mencapai tahap seperti demikian dengan membentuk Tim yang mereka sebut Timnas lengkap dengan jargon “The Real Garuda”. Sangat menyedihkan. Garuda adalah simbol suci sekaligus kebanggaan yang tak seharusnya dikotori.

Kini bukan saatnya lagi bicara apa kesalahan PSSI yang menjadikan KPSI ada. Bukan lagi sekedar kompetisi mana yang lebih profesional, LSI atau LPI. Saya setuju dengan pendapat yang menyatakan keduanya tak profesional dan jauh dari gambaran liga yang ideal. Bukan saatnya lagi menebar wacana “tandingkan Timnas LSI dan LPI, pemenangnya itulah Timnas Indonesia”. Sekali lagi menurut saya Timnas hanya satu. Timnas tidak dibentuk dari sebuah adu gengsi, adu ambisi dan adu kuat. Timnas bukan sekedar sekumpulan pemain hebat atau kumpulan pemain amatir. Timnas adalah wujud persatuan dengan tujuan memuliakan Indonesia.

Di sisi lain PSSI pun perlu membersihkan diri dari segenap dendam dan titipan kepentingan. Selanjutnya federasi sepakbola beserta otoritas terkait yang berwenang perlu menimbang pelajaran apa yang pantas diberikan kepada orang-orang yang telah mempertaruhkan Merah Putih dan Garuda sebagai tameng ambisi kekuasaan mereka.

Kepada La Nyalla dan aktor-aktor KPSI tidak berlebihan jika mereka dilarang berkecimpung di sepakbola Indonesia selama seumur hidup. Menurut saya mereka telah mencederai makna persatuan dengan mengeksploitasi sepakbola Indonesia serta membawanya sebagai alat untuk mengejar ambisi kelompok dan pribadi. Kiprah mereka selama belasan tahun juga tak menghadirkan prestasi membanggakan. Pun demikian dengan klub, pengurus dan semua aktor yang mendukung di belakangnya, meski mungkin beratnya hukuman tak sama dengan aktor intelektual KPSI.

Kepada pemain yang telah menentukan pilihannya, PSSI pun tak perlu enggan untuk menentukan pelajaran kepada mereka. Mereka mungkin pemain bintang, tapi mereka hanya bagian kecil dari pemain-pemain yang bisa diharapkan lebih untuk berprestasi di masa-masa mendatang. Secara pribadi saya telah kehilangan respek kepada M. Ridwan, Ferry Rotinsulu dan rekan-rekannya yang berdiri di bawah kibaran bendera KPSI. Benar bahwa mereka adalah pemain hebat, bermain di liga teramai, walau juga tak berprestasi selama di Timnas. Kata profesional yang mungkin mereka jadikan alasan hanya tepat digunakan di klub dan liga. Jargon profesionalisme mereka sama sekali tak berlaku dalam konteks Timnas KPSI. Di luar apakah mereka sadar atau tidak dengan tindakan itu, di luar logika yang mereka gunakan untuk menentukan pilihan, kenyataannya mereka turut membesarkan KPSI beserta ambisinya. Oleh karena itu PSSI seharusnya tak ragu lagi untuk menghukum mereka. Tak perlu berupa larangan berkiprah di pentas sepakbola nasional, cukup saja dengan menutup pintu Tim Nasional untuk mereka selamanya. Berlebihankah ?. Tidak. Jika belajar dari profesionalitas sepak bola luar negeri, sudah banyak contoh federasi dan pelatih yang menghukum pemain dengan menutup pintu Tim Nasional kepada beberapa pemain mereka.

Saya yakin beberapa pemain itu tahu akan tindakan mereka. Namun mereka sepertinya memiliki logika sendiri yang susah untuk dimengerti. Bisa jadi ada gengsi dalam benak mereka. Gengsi kalau selama ini bermain satu tim dengan rekan-rekan yang oleh masyarakat Indonesia sebut sebagai bintang. Gengsi yang membuat mereka enggan mempertaruhkan kehebatannya jika harus bergabung dengan tim yang berisikan para debutan yang sayangnya dicap amatir oleh sebagai masyarakat juga. Maaf jika pendapat ini cenderung buruk sangka, tapi saya merasakan itu. Dan gengsi mereka terpenuhi di Timnas KPSI meski itu akhirnya mencederai makna PSSI, Merah Putih dan Garuda. Meski gengsi itu sesungguhnya semu belaka.

Kehilangan satu generasi yang konon berisikan pemain hebat takkan membuat sepakbola Indonesia runtuh. Saya yakin itu. Meski jika masih bisa diperbaiki saya tak berharap satu generasi ini dipangkas seluruhnya. Namun memandang remeh para debutan di Tim Nasional Indonesia juga sama artinya merendahkan kekuatan bangsa sendiri. Benar kita kalah 10-0 dan itu menyakitkan. Benar kita kini ada di bawah Malaysia dan Vietnam, itu menyedihkan.

Kebiasaan yang akhirnya membuat kita menganggap hasil kekalahan itu sebagai aib abadi negeri ini. Tanpa kita pernah merasakan pukulan hebat juga dialami Belanda saat gagal menembus Piala Dunia atau saat tim mapan Inggris dibantai panser muda Jerman. Kebiasaan yang seolah menutup mata kita akan harapan yang mungkin lebih baik. Timnas U-22 yang banyak dicap berisi pemain amatir, tapi dalam 3 bulan saja mereka sudah bisa bermain atraktif meski belum memenuhi kriteria baik dan konsisten. Lihatlah juga para Garuda 17 tahun yang sukses mengalahkan raksasa Asia Arab Saudi dan itu terjadi di Malaysia.

Konflik sepakbola negeri ini sudah tak elok lagi untuk diteruskan. Apa kita harus memutar sejarah untuk melihat slide-slide lama tentang kejayaan dengan semangat persatuan dalam lambang PSSI, Garuda dan Merah Putih ?.

Badai ini akan berlalu meski mungkin harus dengan cara yang ekstrim. Namun setelah itu seperti hutan yang mengalami suksesi dan dijaga, sepakbola Indonesia perlahan akan tumbuh menghasilkan buah yang manis dengan segenap potensinya.
\Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar